Sejak SD bahkan sejak kita masih orok, guru kita bahkan orang tua kita selalu berkata ” Bersyukurlah nak, kita tinggal di Indonesia, negara yang sangat kaya raya…” di pepatah bahkan disebutkan bahwa, tanah di indonesia amat subur dan kaya akan sumber alam ” bahkan tongkat dan batu pun bisa jadi tanaman“. Agaknya pemikiran ini patut segera kita singkirkan jauh-jauh…bahkan saaangat jauh…(lho koq?). bisa jadi karena pemahaman ini negeri kita masih tetap terbelakang…
Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti kuliah umum dari Pak Toga P. Suprapto, mantan Dirut PT Badak NGL yang kini berstatus sebagai advisor bidang minyak dan gas pada Direktorat Hulu PT. Pertamina. kuliah umum tersebut membuat kami semua membuka mata bahwa negeri kita sebetulnya miskin..(maksudnya gak kaya-kaya amat). Dengan sangat antusias, alumni Teknik Kimia ITB tahun 73 tersebut menjelaskan secara gamblang mengenai Kebijakan Energi Indonesia. Cadangan minyak indonesia tidaklah menggembirakan, saat ini tercatat hanya sebesar 0,36 % cadangan total dunia…batu-bara pun demikian, saat ini tercatat hanya 0,55 % dunia. gas alam lebih mendingan lagi, berada di level 1,83 % dunia. jadi, sebetulnya apa yang harus kita banggakan?? dengan cadangan bahan bakar fosil yang sangat sedikit tersebut , negeri kita dengan bangga (tidak tahu diri lebih tepatnya..) mengekspor LNG , minyak mentah dan batu bara ke luar negeri. bahkan untuk LNG, indonesia tercatat sebagai eksportir terbesar di dunia….ck…ck…ck hebat baget!
Di tengah krisis energi yang tengah melanda kita, masih sempet ekspor LNG. bahkan beberapa waktu lalu sempat heboh, negara kita berpotensi mengalami kerugian besar akibat jual-beli LNG ini…. sebaiknya energi tersebut digunakan untuk memenuhi dalam negeri. jika saat ini, negeri kita mengalamimi krisis listrik akibat berkurangnya bahan bakar untuk PLTD, dan itu jelas amat sangat menggangu aktivitas kita semua termasuk dunia kampus (ada pematian lampu secara rutin, dan pembatasan pemakaian alat di laboratorium), mengapa tidak LNG tersebut dimanfaatkan untuk listrik saja…memang kita memiliki kekayaan alam lain yang juga besar, tapi saat ini memang masih kurang ekonomis, semisal Panas Bumi. Kabarnya negeri kita adalah gudangnya panas bumi dunia, lebih dari 27.000 MW dari 55.000 MW potensi panas bumi dunia terdapat di deretan gunung di negeri ini. namun sayang, baru ekonomis saat harga minyak dunia di atas US $ 100 per barrel.
jadi, sebaiknya pemerintah memanfaatkan kekayaan alam indonesia seoptimal mungkin untuk kesejahteraan rakyat. Untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang primer terlebih dahulu, yaitu energi. Memang, kekayaan alam lain juga banyak di negeri kita, tapi bukan untuk kita banggakan. tapi untuk kita manfaatkan secara optimal. bisa jadi negara kita belum maju pesat, karena paradigma yang sudah ditanamkan dengan sangat kuat di mental warga negaranya bahwa Indonesia adalah negara kaya…ini cenderung membuat kita terlena dan tidak bergerak dibandingkan memberikan semangat yang tinggi untuk membangun bangsa. coba lihat saja Arab Saudi, negara ini jelas diakui dunia sebagai negara kaya raya terutama minyak. karena kaya tersebut, sebagian besar warga negaranya menjadi “pemalas” jauh berbeda dengan Jepang yang sejak awal ditanamkan bahwa negaranya memang miskin dengan sumber daya alam yang justru ini membuat warga negaranya semakin sadar dan ulet untuk membangun negerinya….
Pemikiaran memang menjadi awal kita untuk bergerak, jika pola pikir kita salah, maka salah pula hasilnya…sebelum negara kita mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, mari kita sama-sama benahi pikiran kita, Indonesia bukanlah negara yang kaya sumber alam. Indonesia membutuhkan warga negar yang ulet dan sadar membangun bangsanya…Merdeka!
jadi menurut bapak bagaimana solusinya?
tentu kita tidak bisa tinggal diam begitu saja bukan?
ya simple saja solusinya..adalah merubah tentang paradigma kita bahwa negara kita bukan negara yang kaya..Skarang juga!! lama-kelamaan ini akan membuat ita semakin sadar bahwa kita harus berhemat dengan energi dan ulet mencari sumber-sumber energi yang baru…gitu aja mas ganteng.