Semalam saya menyaksikan acara “Economics Challenges” di Metro TV mengenai persaingan ketat antara Raksasa Minyak dari negeri Belanda, Shell Royal Dutch dan perusahaan minyak terbesar di dunia asal AS, Exxon Mobil mengenai Blok D-Alpha Natuna, saya pun tidak sabar untuk melaporkannya secara Up date di blog ini…dialog nya sangat menarik dengan narasumber yang cukup kompeten antar lain Maizar Rahman, Mantan Presiden OPEC Indonesia yang saat ini menjabat sebagi komisaris Pertamina, Rudi Rubiandini, pakar energi sekaligus Dosen Teknik Perminyakan ITB dan Catur…pengamat Politik ternama….
Blok D-Alpha Natuna merupakan salah satu cadangan gas alam terbesar di dunia dari segi volume gas. Lokasi ini terletak di laut natuna dengan cadangan total sebesar 46 TCF (Triliun Cubic Feet). Namun sayang sekali, 70 % gas yang terkandung didalamnya merupakan CO2. Sudah lebih dari 25 tahun Exxon Mobil mengeksplorasi kawasan ini dengan bagi hasil yang sangat tidak wajar, sejak tahun 1995 bahkan bagi hasil semakin merugikan negara kita, 100: 0. 100% keuntungan mengalir bebas ke AS. Keterlaluan!!
Untunglah pemerintah segera menyadarinya (walaupun telat!) dengan tidak memperpanjang kontrak eksplorasi di blok tersebut pada tahun 2005 silam. Pemerintah memerintahkan Pertamina untuk mengambil alih blok tersebut, namun ternyata Pertamina membutuhkan partner karena memiliki keterbatasan dalam hal teknologi. 70% CO2 menajdi masalah utama, saat ini belum ada teknologi yang cukup baik untuk memisahkan CO2 sebanyak itu, apalagi dengan cadangan sebesar itu. Jelas pertamina mambutuhkan partner yang handal. Namun, tetap Pertamina menjadi Lead Operator di Blok tersebut.
Ada dua raksasa minyak dunia yang kini berjuang keras menghalalkan segala cara agar bisa berpartner dengan Pertamina. Yah,,tidak salah lagi Exxon Mobil, sang raja minyak asal AS dan Shell, perusahaan minyak terbesar kedua setelah Exxon. Keduanya melakukan berbagai pendekatan terasuk pendekatan politik agar Blok D-Alpha natuna jatuh ketangannya. Sebetulnya tender ini diikuti oleh 6 perusahaan minyak terkemuka lainnya seperti TOTAL, STATOIL, CHEVRON, CNOOC, dll. Namun Shell dan Exxon agaknya yang paling ngebet diantar yang lain.
Shell melobi Indonesia saat kunjungan wapres Jusuf Kalla ke Belanda beberapa hari silam. Karena hal itu, Perdana Mentri Belanda Jan Peter Balkenende harus rela membatalkan pertemuan dengan para Perdana Mentri Uni Eropa saat itu di Inggris dan segera terbang ke Amsterdam untuk menemui Jusuf Kalla. Ada ada dibalik itu?? Apalagi kalau bukan untuk urusan natuna! Shell pasti “menitipkan pesan” untuk urusan menggiurkan itu…
Tak ketinggalan, AS pun ambil gerak cepat. Kunjungan Hillary Clinton ke Indonesia 18-19 Februari lalu bisa jadi bermuatan politik terutama urusan natuna. Lewat Hillary juga, Exxon sudah barang tentu “menitipkan pesan” untuk pemerintah Indonesia disamping rencana kerjasama ekonomi dengan Indonesia. Bahkan Exxon sudah sempat melobi lewat Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro untuk urusan yang satu ini. Exxon memang telah sukses sebelumnya merebut Blok Cepu dari Indonesia dengan kunjungan Kontroversialnya Menlu AS Condoleezza Rice beberapa tahun lalu. Kali ini pun mereka tak mau ketinggalan, Exxon pun berencana menyeret Indonesia ke Arbitrase Internasional mengenai perjanjian kontrak blok D-Alpha natuna. Indonesia tak perlu takut untuk ancaman ini oh Indonesia sudah melaksanakan hal yang benar
Kenapa bisa seperti itu?? Energy salah satu sektor yang paling strategis karena memang “energy adalah darah perekonomian”. Kemajuan ekonomi China tahun lalu tidak luput dari besarnya konsumsi energi negara tersebut. Bahkan China menjadi negar terakus energi kedua setelah AS. Makanya jika ada penawaran sangat menggiurkan seperti Blok D-Alpha, mereka bertarung habis-habisan. Apalagi diketahui memang cadanganya besar. 46 TCF sungguh angka yang fantastis. Jauh lebih besar dari cadangan gas lainya seperti tangguh 27 TCF, Kalimantan timur 20 TCF, dan Arun 12 TCF. Mereka menawarkan berbagai Berikut adalah plus-minus dari kedua oil operator tersebut :
|
Exxon Mobil |
Shell |
Plus |
· 25 tahun berpengalaman · Punya penyaring CO2 |
· Bagi Hasil 50 % untuk Indonesia · Memindahkan refinery yg dibangun di Singapore ke Indonesia |
Minus |
Bagi hasil 10 % untuk indonesia |
Tidak punya pengalaman di natuna |
Tak tanggung-tanggung, Shell berencana memindahkan refinery yang kini tengah dibangun di Singapore seharga 5 miliar dolar itu ke Batam untuk menarik perhatian Pemerintah. Bagi hasilpun masih cukup fair 50 :50 dibandingkan dengan Exxon yang sangat tidak manusiawi 90:10. Namun Shell belum punya banyak pengalaman di Blok natuna seperti Exxon.
Harusnya ini menjadi kesempatan besar bagi pertamina untuk “leading” di dunia perminyakan. Selama ini pertamina hanya mampu dan berani mengeksplorasi daratan saja, tidak ada salahnya kali ini mencoba mengeksplor “Off Shore”. Mengenai masalah teknologi, sebetulnya tidak ada masalah yang berarti, penurunan kadar CO2 bisa dilakukan secara bertahap. Dari 70-10 % bisa dilakukan melalui membran. Dari 10-5 % bisa dilakukan dengan cara konvensional yaitu menggunakan ethylene glycol seperti yang sekarang digunakan. Itu teknologi yang umum, teknologi yang diaplikasikan di seluruh palnt gas di dunia. Indonesia memiliki pakar membran yang terkemuka dan negara kita dipandang cukup maju di dunia per membranan. Indonesia pun harusnya bisa. Apa sih masalahnya?
Ternyata eh ternyata,,,masalah utamanya adalah financial, dibutuhkan dana sebesar 40 Miliar dolar untuk membangun tempat disana. Dan karena itulah Indonesia masi saja tergantung dengan perusahaan minyak asing….huhuhu kapan yah kita madiri?? Susah bener yah kita maju?? Tanya kenapa…….