Pulang Kampung


oleh:
Hasanudin Abdurakhman ( Tohoku University )
…mendapat beasiswa itu sulit. tapi ketahuilah sesungguhnya apa yang akan kau hadapi setelah menerima beasiswa itu jauh lebih sulit…

“Mou, dame da! Dame! Kimi wa dame da. Hakase ni naran. Zettai naran. Indonesia he kaere!!” Sensei mengucapkan itu dengan muka merah padam karena marah. Lalu ia keluar ruangan sambil membanting pintu keras-keras. Aku berdiri terpaku di depan layar yang memantulkan slide Power Point dari note book yang teronggok di atas meja di depanku. Dadaku terasa sesak, rasanya berat benar untuk sekedar menarik sebuah nafas pendek. Kata-kata Sensei tadi masih bergaung di telingaku. Aku sungguh tak suka dengan apa yang dia ucapkan. Aku tak pernah suka dengan apa yang diucapkan Sensei saat marah. Tapi aku lebih tak suka lagi saat sadar bahwa perkataan Sensei itu benar. Seperti kata dia, aku memang tak pantas jadi doktor. Lebih baik segera pulang ke Indonesia sekarang, membuang semua mimpi yang aku bangun selama puluhan tahun.

Kagayama, associate professor muda dan seorang perempuan masih duduk di salah satu kursi yang mengelilingi ruang seminar ini. Dia menatapku iba. Tatapan itu membuat aku semakin menderita. Perempuan cantik yang saat ini sedang menatapku itu berumur persis sama denganku. Aku lahir seminggu lebih dulu dari dia. Tapi lihatlah. Ia seorang associate professor. Tentu saja ia sudah doktor, sudah sejak dulu. Adapun aku, masih berdiri di sini, menghadapi ujian, dan seperti kata Sensei tadi, sepertinya aku akan gagal. Gagal dalam ujian, gagal menjadi doktor. Dan aku harus pulang dengan tangan hampa.

“Hasan san. Cobalah duduk sejenak, minum air putih, tenangkan pikiran. Kata-kata Sensei tadi jangan diambil hati. Hasan san pasti bisa.” Kagayama menghiburku dengan kata-kata lembut, sambil berusaha tersenyum. Tapi matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Aku tak berusaha membantah kata-katanya, meski aku sangat tak setuju dengan apa yang dia ucapkan. Demi menghormati sikap simpatik Kagayama, aku menuju kulkas di ruang sebelah, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke dalam gelas, lalu kembali ke ruang seminar dan duduk minum air dingin itu. Sedikit ada rasa nyaman saat air dingin mengguyur tenggorokanku, Tapi rasanya sedikit kesejukan itu jauh dari cukup untuk mengimbangi sesak yang menghantam dadaku.

Sesak itu sebenarnya sudah aku rasakan sejak masuk ke ruangan ini sejam yang lalu. Hari ini aku harus latihan presentasi untuk ujian akhir program doktorku, yang akan berlangsung lusa. Aku harus presentasi di depan dewan profesor penguji di Tohoku University, kampus tempat aku terdaftar sebagai mahasiwa. Saat ini aku masih berada di Kumamoto University, tempat Sensei, profesor pembimbingku bekerja. Dia tadinya bekerja sebagai associate professor di Tohoku University sebelum pindah ke sini untuk menjadi professor. Besok aku harus menempuh 2 jam perjalanan dengan bis menuju Fukuoka, dari situ naik pesawat ke Sendai selama kurang lebih dua jam, lalu satu jam lagi naik bis ke pusat kota. Lusa pagi aku akan menjalani ujian.

Latihan ini entah sudah yang keberapa kali. Aku tak ingat. Presentasiku sendiri sudah beberapa kali berlangsung. Dalam program doktor ini aku pertama kali harus presentasi di depan dewan penguji sebelum mulai program. Di situ aku harus menjelaskan apa yang hendak aku teliti selama tiga tahun ke depan, mengapa hal itu perlu diteliti, apa arti pentingnya, serta rencana kasar program riset yang harus aku tempuh. Setelah itu aku harus menyampaikan laporan kemajuan saat aku duduk di pertengan tahun kedua program doktorku. Lalu tiga bulan yang lalu aku menghadapi ujian tahap akhir bagian pertama. Saat itu aku menyerahkan draft disertasi dan mempresentasikan isinya. Di situ dewan penguji memberi masukan-masukan yang dianggap perlu untuk memberi sentuhan akhir pada program risetku, dan atas masukan itu aku melakukan berbagai eksperimen, serta berbagai analisa data tambahan.

Kini aku sedang menghadapi ujian yang paling penting, yaitu ujian tertutup yang terakhir. Kalau aku lulus dalam ujian ini, aku harus menuntaskan penulisan disertasi. Setelah ini aka nada ujian terbuka. Konon ujian terbuka ini tinggal formalitas. Artinya tidak ada orang yang tidak lulus jadi doktor kalau ujian tertutup sudah dia lampaui. Tapi itu konon kabarnya. Kenyataannya mungkin berbeda. Bisa saja ada yang tidak lulus. Dan kini aku tidak punya kemewahan memikirkan apakah ujian terbuka itu sekedar formalitas atau bukan. Aku sedang menghadapi tiang gantungan. Vonis sudah dijatuhkan Sensei tadi: kamu tidak bisa jadi doktor!

Aku sama sekali tak menganggap kata-kata Sensei tadi main-main atau ancaman kosong. Lima tahun sekolah di Jepang membuat aku tahu bahwa para sensei itu adaalah kami sama, dewa. Di tangan merekalah nasib mahasiswa berada. Senseilah yang menentukan apakah seorang mahasiswa lulus atau tidak, bahkan dapat pekerjaan atau tidak. Lima tahun berada di bawah bimbingan Sensei yang ini membuat aku tahu bahwa aku memang tidak mengerti apa-apa tentang Ilmu Fisika, bidang studi yang aku tekuni lebih dari sepuluh tahun belakangan ini. Setiap presentasi yang aku buat, baik dalam seminar rutin di grup riset, laporan kemajuan penelitian, seminar pada pertemuan ilmuwan Fisika seluruh Jepang, serta berbagai presentasi dalam rangka ujian doktorku, sering berakhir dengan marah-marahnya Sensei karena presentasiku mengecewakan. Aku banyak gagap dalam menjawab berbagai pertanyaan.

“Parah benar kamu ini. Hal sederhana dan mendasar seperti ini saja pun kamu tidak bisa menjelaskan.” cela Sensei selalu. Sederhana menurut Sensei, tapi tidak sederhana bagiku. Sebenarnya prestasi risetku tak buruk. Banyak data penting yang sudah aku hasilkan. Dari data itu aku sudah berhasil menerbitkan beberapa makalah di jurnal internasional yang menjadi syarat utama untuk lulus doktor. Ini bukan perkara mudah, banyak mahasiswa yang masuk tahun ketiga tanpa satu terbitan makalah sama sekali. Namun masalahku adalah, aku hanya mampu melihat data milikku, serta makalah-makalah yang sudah aku terbitkan sebagai potongan-potongan cerita. Aku kesulitan merangkumnya menjadi cerita yang utuh dan menarik.

“Dewan penguji itu ingin berdiskusi. Setelah melihat deretan data kamu, mereka ingin tahu lebih banyak, ingin melihat bagaimana kumpulan data itu kamu susun menjadi sebuah bangunan yang indah. Tapi yang bisa kamu sajikan kepada mereka hanyalah tumpukan batu bata.” Kritik Sensei itu benar-benar aku rasakan. Aku tidak punya gambar bangunan milikku. Karenanya aku tak bisa menunjukkannya kepada dewan penguji. Aku memang tak pantas jadi doctor.

Kuletakkan gelas air dingin yang tadi aku bawa dan kini sudah kosong, aku tarik notebook ke depanku. Aku pelototi lagi satu per satu slide presentasiku. Tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Aku lihat slide itu dari halaman pertama, kedua, ketiga, seterusnya hingga halaman terakhir. Lalu aku kembali lagi melihat halaman pertama. Tapi semua itu tak mengubah apa-apa. Aku tetap bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Di seberangku Kagayama duduk membaca sebuuah buku, tapi sikapnya mulai menunjukkan bahwa dia sudah merasa tak nyaman.

Pintu ruang seminar terkuak, sosok Sensei muncul di sana. “Perbaikin segera slide-slide presentasi kamu, pertajam isinya. Kagayama san, tolong dia. Kalau kamu tidak berhasil membuatnya bagus, saya tidak bisa berbuat apa-apa di depan dewan penguji. Saya tidak akan membela kamu karena tak mungkin. Jadi saya serahkan sepenuhnya keputusan kepada mereka.” Setidaknya kali ini Sensei tidak bicara dengan suara tinggi, dan muka tak merah padam. Saat itu sudah pukul tujuh malam, Sensei langsung pulang setelah memberi perintah itu. Dua jam berikutnya aku habiskan bersama Kagayama, menerima saran-saran perbaikan dari dia. Lalu tiga atau empat jam berikutnya aku habiskan untuk melakukan revisi sesuai hasil diskusi dengan Kagayama tadi. Saat semuanya aku anggap usai malam sudah mulai beranjak menuju pagi. Aku naiki sepedaku, pulang ke apartemen.

Saat aku tiba istriku sedang terbangun, menyusui anak kami Sarah, yang saat itu berumur empat bulan. Istriku tampak sangat lelah. Ia menyusui anak kami sambil setengah tertidur. Nyaris tak bergerak saat aku mencium pipinya, ia hanya membelai rambutku sekilas, sekedar menunjukkan bahwa ia sadar aku menciumnya. Aku tak ingin menganggunya lebih lanjut. Segera aku berwudhu, salat Isya, lalu tidur. Besok jam sepuluh pagi aku harus melakukan perjalanan penting.

Ujian yang aku takutkan berlangsung dua hari berikutnya. Tak banyak perubahan. Aku tetap tergagap di sana sini, kesulitan menjawab pertanyaan dari dewan penguji. Seperti kata Sensei, mereka tak mengajukan pertanyaan mengada-ada untuk menguji. Mereka hanya ingin tahu lebih jauh, bagaimana hubungan suatu fakta dengan yang lain, Mereka ingin menikmati indahnya bangunan yang aku hasilkan, tapi yang bisa aku tampilkan hanyalah bangunan bopeng dengan lubang menganga di sana sini. Sepertinya mendengarkan presentasi dan berdiskusi denganku sungguh melelahkan buat mereka, karena mereka tak bisa menikmatinya. Ujian selesai, Sensei melepasku pulang ke hotel dengan senyum sinis. Aku tak begitu peduli kali ini.

Esoknya aku dan Sensei kembali ke Kumamoto. Sensei terbang dari Sendai menuju Osaka, lalu berganti pesawat menuju Kumamoto. Sedangkan aku, demi menghemat ongkos, terbang ke Fukuoka, kemudian melanjutkan perjalanan dengan bis ke Kumamoto. Tapi aku senang, karena dengan begitu aku tak perlu bersama Sensei. Tiba di Kumamoto nanti sekitar jam satu siang, aku berniat langsung pulang ke apartemen, memeluk istri dan anakku.

Tapi aku bertemu dengan sebuah kebetulan yang celaka. Di dalam bis kota yang membawaku pulang aku bertemu dengan Sensei. “Segera mampir ke kampus, benahi lagi data kamu yang kemarin banyak dikritik penguji. Saya tunggu hasilnya besok pagi.” Begitu perintah sang dewa. Mati aku. Buyarlah harapan untuk segera memeluk anak istri. Dengan gontai aku turun dari bis di depan kampus, segera menuju meja kerjaku untuk melaksanakan perintah Sensei. Ketika semua itu usai, hari sudah menjelang pagi lagi. Pulang sejenak untuk berganti baju dan istirahat seadanya, pagi hari aku kembali ke kampus untuk lapor kepada Sensei.

Hari itu hampir setengah hari aku berada di kamar kerja Sensei, berdiskusi di ruang yang penuh asap rokok. Sensei tak pernah berhenti merokok. Lalu pertemuan ditutup dengan informasi: naskah akhir disertasi harus diserahkan dua minggu lagi. Maka dua minggu itu adalah dua minggu yang nyaris tanpa pulang ke apartemen menemui anak dan istriku, tanpa tidur pula. Aku seperti sudah pergi jauh dari anak istri, tak tahu bagaimana kabar mereka. Pun mereka tak tahu kabarku. Aku sedang berada di alam lain yang tak memungkinkan kami saling berkomunikasi. Berat rasanya meninggalkan bayi mungilku dan istri cantikku. Istriku tentu lebih berat lagi karena ia harus mengasuh anak sendiri. Tak ada lagi peluk cium manis saat aku pulang sejenak ke aprtemen untuk berganti baju. Yang ada tinggal protes dan tangis istriku. Semua itu harus aku abaikan. Kupingku aku tutup, mata aku butakan. Dengan wajah tanpa perasaan aku selalu bergegas kembali ke kampus, menjauh dari istri dan anakku.

Ujian terbuka yang berlangsung dua minggu setelah tenggat waktu penyerahan naskah disertasi berlangsung tak berbeda dengan ujian-ujian sebelumnya. Ujian kali ini dihadiri oleh hampir semua profesor dan associate di departemen tempat aku belajar, ditambah siapa saja yang mau hadir. Aku melihat wajah-wajah kecewa, tak puas. Tapi aku sudah tak peduli. Aku lakukan apa yang aku bisa, terserah bagaimana hasilnya.

Usai ujian aku tak berani bertanya kepada Sensei tentang hasil ujian. Pikiranku kini Cuma satu: pulang. Aku sudah membeli tiket sekali jalan untuk kami bertiga. Aku akan pulang, bertemu Emak. Membawa anak dan istriku, memperkenalkan bayi kami. Hanya itu yang kupikirkan. Bagaimana setelah itu? Entahlah.

Waktu aku duduk di penghujung tahun pertama program dokor dan baru pindah dari Sendai ke Kumamoto, suatu hari Sensei memanggilku. “Kamu kalau selesai doctor apakah harus segera pulang ke Indonesia?” tnya Sensei ketika itu.

“Tidak juga.” jawabku. “Sebenarnya saya ingin mencari kesempatan untuk ikut program post-doctoral.” Program post-doctoral adalah program riset bagi dokto baru, jangka waktunya selama satu hingga dua tahun. Banyak universitas dan lembaga riset menawarkan program itu dengan gaji yang lumayan menarik.

“Kalau begitu nanti kamu ikut program post-doctoral di sini, di bawah saya selama dua tahun, ya.” pinta Sensei.
“Universitas ini punya dana untuk membiayai program itu.”

“Tapi saya ingin ke Eropa. Perancis, Jerman atau Belanda.” Sebenarnya sejak dulu aku ingin ke Eropa. Aku ingin kuliah master dan doktor di sana, namun Jepang menawarkan beasiswa lebih dahulu. Aku memilih untuk mengambil yang sudah lebih pasti.

“Boleh, kamu boleh ke Eropa setelah dua tahun bekerja dengan saya.” Tak ada gunanya membantah Sensei lagi. Tanpa persetujuan dia aku tak akan bisa lulus doktor. Tanpa rekomendasi dia aku tak akan bisa masuk program post-doctoral. Kini tentu aku ingat dengan semua janji itu. Tapi bagiku itu masa lalu. Tak terpikir lagi soal post-doctoral. Aku toh akan pulang tanpa gelar doktor.

Seminggu menjelang keberangkatan Sensei memanggilku ke ruangannya. Dia tersenyum. “Baru saja tadi saya mendapat telepon dari Tohoku. Hari ini dewan guru besar bersidang. Kamu dinyatakan lulus program doktor. Selamat!” Aku tak percaya dengan apa yang aku dengar. Sejenak aku terdiam tak mampu berkata apapun. Lalu aku tersadar, segera aku menunduk memberi hormat pada Sensei.

“Terima kasih atas bimbingan selama ini.”

“Gokuro sama deshita.” jawab Sensei. Itu sebuah ucapan yang biasa diucapkan orang Jepang untuk menghargai jerih payah seseorang. “Segera kamu ke administration office untuk mengurus berkas post-doctoral kamu.”

“Apakah saya juga diterima untuk program post-doctoral?”

“Secara resmi masih akan disidangkan. Tapi tak usah khawatir, karena saya sudah membahasnya dengan dekan.”
Bergegas aku keluar dari ruangan itu, mencari tempat untuk sujud syukur. Selebihnya aku hanya mengambil formulir di administration office, lalu segera pulang untuk memeluk istri dan anakku.

Minggu terakhir itu aku jalani dengan penuh gairah. Dua tiga hari aku harus lembur membuat proposal riset selama program post-doctoral, tapi suasana kerja sudah berbeda seratus delapan puluh derajat dengan suasana bulan lalu. Kemudian, di suatu pagi buta di akhir bulan Agustus, di penghujung musim panas, bertiga kami bertolak menuju Fukuoka. Transit dua hari di Kuala Lumpur, aku memberi seminar motivasi kepada adik-adik kelas pada program beasiswa yang membiayai kuliahku, di mana saat itu mereka sedang menjalani pelatihan bahasa Jepang. Sejenak aku memandu istriku melancong di kota itu, lalu kami meneruskan perjalanan ke Jakarta.

Di Jakarta kami disambut dengan sukacita oleh keluarga istriku. Lalu dua hari kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Pontianak, kotaku. Deru pesawat berdenging di telingaku saat aku menjauh darinya, lalu bertiga kami menuju ruang kedatangan tempat saudara-saudara dan kemenakanku menunggu. Tak sabar aku segera membebaskan diri dari kerumunan sanak saudara yang masih rindu, aku giring mereka masuk mobil. Aku ingin segera menemui Emak.

Di rumah Ude Dol Emak berada. Ke situlah kami menuju. Saat mobil tiba aku gendong anakku turun, aku gandeng tangan istriku masuk ke rumah. Aku dapati Emak sedang duduk di lantai di ruang tengah. Emak. Rambutnya sudah putih semua. Pandangan matanya lurus ke depan, tampak kosong. Dua kali stroke membuat sebagian ingatan Emak hilang.

Segera aku berikan anakku ke istriku, aku bersimpuh di hadapan Emak, mengambil kedua tangannya, menciumnya. Lalu aku peluk Emak, dan aku bersujud meletakkan kepalaku di atas pangkuannya. Kemudian aku bangkit duduk kembali. Aku ambil kedua telapak tangan Emak, aku tempelkan di kedua pipiku. Terasa benar kelembutan tangan ini. Kedua tangan inilah yang memandikan aku, menggosok pipi dan badanku di hari pertama aku hendak masuk sekolah dulu. Aku genggam dekap erat kedua punggung tangan Emak dengan telapak tanganku, sedang telapak tangan Emak tetap menempel di pipiku.

“Mak, aku dah balik. Aku dah selesai sekolah, Mak. Haji kecil Emak sudah berhasil mengejar cita-cita.” ucapku dalam tangis.

“Alhamdulillah. Allahu Akbar.” jawab Emak sambil menangis pula. “Kini Emak tinggal menunggu satu lagi: Kau menjadi haji yang sebenarnya.”

“Insya Allah, Mak. Insya Allah.” Lalu aku ambil anakku dari gendongan istriku. Aku tarik istriku lebih dekat ke Emak. Aku peluk mereka bertiga.

Sumber : Pemburu Beasiswa Dalam dan Luar Negeri

2 thoughts on “Pulang Kampung

  1. saya kira tulisan sendiri, ternyata bukan setelah lihat “sumber: ….. ”
    *blogwalking*

  2. thx for coming to my blog…hehe. iya,,,itu aku copas dr facebook, klo dr Blog orang, kayanya aku reblog aja, inspiring artikelnya. keren 🙂

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close